Kaum Sarungan
Oleh: Joyo Juwoto
Santri atau identik dengan sebutan kaum sarungan ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat semenjak dulu. Kaum sarungan ini membaur di tengah masyarakat dan mengambil peran yang cukup signifikan dalam peradaban bangsa dan negara.
Hampir di setiap wilayah, hampir pasti dijumpai makam, petilasan, tempat-tempat yang dijadikan punden masyarakat, dan itu merujuk pada seorang tokoh Kiyai atau orang yang dituakan yang babad desa membangun sebuah peradaban. Ini adalah bukti bahwa kaum sarungan tidak terpisahkan dari masyarakat.
Kaum sarungan ini memiliki semboyan Urip iku urup, urip iku urap. Menurut istilah sekarang, hidup itu harus menyala bosku, hidup itu harus berbaur dengan masyarakat dan tidak terpisahkan dengan masyarakat.
Secara kesantrian, merujuk pada kajian-kajian turots al Islamiyah yang biasa dideras santri, merujuk pada sebuah hadits Nabi bahwa sebaik-naik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama, hal ini memotivasi kaum sarungan untuk selalu berbuat yang bermanfaat untuk umat.
Diakui atau tidak, Kiyai, santri selalu mengedepankan bakti untuk negeri, berdarma untuk bangsa, dengan dedikasi yang tinggi dan keikhlasan yang luar biasa, bahkan sebelum negara ini secara formal terbentuk.
Santri adalah sebuah identitas yang lengkap, oleh karena itu santri harus serba bisa. Santri ketika terjun di masyarakat bisa menjadi petani, bisa menjadi tukang kayu, bisa menjadi birokrat, pengusaha, politisi, dan menjadi apapun. Namun yang lebih penting dari itu santri haruslah menjadi pengayom masyarakat.
Oleh karena itu jika santri terjun ke masyarakat jangan sampai jiwa santrinya lepas, karena dari jiwa santri inilah yang akan memancarkan nilai-nilai kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan. Ya, kebaikan, keberkahan, dan ridho Tuhan adalah hal yang sangat diperjuangkan oleh seorang yang berjiwa santri.
Jiwa santri akan selalu mengacu pada nilai keikhlasan lillahi ta'ala dalam segala amal perbuatannya, yang dicari santri adalah keberkahan dunia akhirat karena pada dasarnya kaum sarungan ini kakinya menginjak bumi, tapi hatinya melangit di ketinggian sidratil muntaha.
Bangilan, 13 September 2024